Sabtu, 26 Maret 2016

Wafatnya KH. Hasyim Asy'ari, Pendiri Pon Pesantren Tebu Ireng


Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari terlahir pada Selasa Kliwon 24 Dzul Qa’dah 1287 H (14 Februari 1871 M) di Pesantren Gedang Tambakrejo Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan putra ketiga dari 11 bersaudara dari pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah.

Dalam buku ‘Profil Pesantren Tebuireng’ dan NU-Online, tertulis bahwa tanggal 3 Ramadhan 1366 H (21 Juli 1947 M) jam 9 malam Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari selesai mengimami shalat Tarawih. Sebagaimana biasanya beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian datanglah tamu utusan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo. Mbah Hasyim menemui utusan tersebut dengan didampingi Kyai Ghufron yang juga pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya.


Sang tamu menyampaikan surat dari Jendral Sudirman yang berisi 3 pesan pokok. Kepada utusan kepercayaan dua tokoh penting tersebut Kyai Hasyim meminta waktu semalam untuk berpikir dan selanjutnya memberikan jawaban. Isi pesan tersebut adalah:
1) Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro dan Madiun.
2) Hadhratus Syaikh dimohon berkenan untuk mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
3) Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Kyai Hasyim.

Keesokan harinya Mbah Hasyim memberikan jawaban bahwa beliau tidak berkenan menerima tawaran yang disampaikan. Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M, sekitar pukul 21.00 WIB datang lagi utusan Jendral Soedirman dan Bung Tomo. Kedatangan utusan tersebut dengan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadhratus Syaikh Kyai Hasyim. Secara khusus Bung Tomo memohon kepada Kyai Hasyim mengeluarkan komando ‘jihad fi sabilillah’ bagi umat Islam Indonesia. Karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadhratus Syaikh kembali meminta waktu semalam untuk memberi jawaban.

Tidak lama berselang, Mbah Hasyim mendapat laporan dari Kyai Ghufron selaku pimpinan Sabilillah Surabaya bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa Kota Singosari Malang yang juga merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu Mbah Hasyim berujar: “Masya Allah, masya Allah…” sambil memegang kepalanya, tapi hal ini ditafsirkan oleh Kyai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk.

Akhirnya para tamu pun pamit keluar, tetapi Mbah Hasyim tetap diam tidak menjawab. Sehingga Kyai Ghufron mendekat ke Mbah Hasyim, dan meminta kedua tamu tersebut meninggalkan tempat. Tak lama kemudian Kyai Ghufron baru menyadari bahwa Mbah Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Mbah Hasyim.

Kala itu putra-putri Mbah Hasyim sedang tidak berada di Tebuireng. Tapi tidak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar sang ayahanda tidak sadarkan diri. Semisal Kyai Yusuf Hasyim yang waktu itu sedang berada di markas tentara pejuang, kemudian dapat hadir dan mendatangkan seorang dokter, yakni dr. Angka Nitisastro.

Setelah diperiksa, barulah diketahui bahwa Mbah Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain. Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari akhirnya wafat pada waktu sahur (pukul 03.00 dini hari) tanggal 07 Ramadhan 1366 H (25 Juli 1947).

Atas jasa-jasa beliau selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting, yakni:
1. Perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia.
2. Kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda.
3. Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah Belanda.
Maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional.

Sedikit berbeda dengan kutipan di atas, Kyai Sanusi Lebaksiu Tegal yang merupakan santri Mbah Hasyim Asy’ari menuturkan bahwa menjelang wafat sang gurunya itu dirinya sedang turut mengaji. Seperti tidak terjadi apa-apa, sebagaimana laiknya orang yang sehat, Mbah Hasyim mengajar sebuah kitab di hadapan para santrinya. Hal tersebut merupakan rutinitas Mbah Hasyim setiap ba’da Shubuh.

Sebagai salah satu saksi mata, Kyai Sanusi menyaksikan tatkala Mbah Hasyim sedang membacakan kitab tiba-tiba terdiam menundukkan kepalanya. Para santri mengira beliau hanya sedang mengantuk. Tapi setelah salah seorang santrinya mendekat (mungkin Kyai Ghufron, sebagaimana kutipan di atas) dan memastikan keadaan Mbah Hasyim, ternyata nyawa gurunya itu telah tiada. Sontak saja para santri yang saat itu sedang mengaji geger bercampur duka yang mendalam. Guru yang sangat dicintainya itu telah kembali ke haribaan Ilahi Rabbi. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, kabar kewafatan Pendiri NU dan Ponpes. Tebuireng itu pun dengan cepat tersiar ke berbagai penjuru tanah air.

Rasa bela sungkawa yang amat dalam datang dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU dan terlebih para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini terbaring di pusara beliau di tengah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

Pada saat mengantar kepergiannya, sahabat sekaligus saudara beliau, KH. A. Wahab Hasbullah, sempat mengemukakan kata sambutan. Inti dari sambutan Mbah Wahab adalah menjelaskan tentang prinsip hidup Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, diantaranya: “Berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat.”

Sumber: http://www.muslimedianews.com/
Dipublikasikan: Senin, 13 Oktober 2014
Read more

KH. Ahmad Fauzan, Pahlawan dari Jepara

Ziarah Akbar Haul KH. Ahmad Fauzan

KH. Ahmad Fauzan dilahirkan kurang lebih pada tahun 1320 H/1905 M di dukuh Penggung, Gemiring Lor, Kec. Nalumsari. Dari keluarga Ibu Nyai Thahirah binti K. Harun bin Kyai Arif dan KH. Abdul Rasul bin Kyai Ahmad Sanwasi.

Kyai Ahmad Fauzan adalah salah satu dari lima ulama non koorperatif terhadap kolonial Belanda di kawasan Pantai Utara Pulau Jawa. Lima Ulama’ tersebut ialah: Mbah Sulaiman (Raden Ngabei Brontodiwiryo, makamnya di Jakenan, Pati), Mbah Abu Sujak, Mbah Mursidin, Mbah Bunggoro dan Mbah Ahmad Sanwasi (kakek Mbah Fauzan, makanya di Penggung dekat Bale Kambang Mayong Jepara).

Beliau berangkat dari keluarga sederhana, santun, relegius dan alami. Kondisi keluarga yang demikian itulah yang menumbuhkan berkah tersendiri bagi beliau KH. Ahmad Fauzan untuk membina keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Pada zaman Jepang Al-Maghfurlahu mengalami penderitaan yang luar biasa, ditangkap dan disiksa oleh Jepang atas dakwaaan jajaran pamong praja Kabupaten Jepara sebagai biang kerusuhan dan kekacauan di kawasan Jepara. Kondisi ini disebut sebagai masa beliau dalam “pesakitan”. Namun karena tidak terbukti akhirnya beliau dibebaskan oleh Jepang.

Pada tahun 1945, suatu peristiwa yang menggemparkan, terjadi di wilayah Pati. Di wilayah ini para kyai berkumpul dan bermusyawarah bagaimana kiat-kiat agar tentara Jepang menyerah. Atas dasar aklamasi, para kyai menyepakati KH. Ahmad Fauzan untuk memimpin penyerangan melawan tentara Jepang. Niat yang tulus ikhlas dan tekad bulat beliau akhirnya dikabulkan oleh Allah SWT, seluruh pasukan Jepang bertekuk lutut pada rakyat Indonesia di Pati.

Memasuki era kemerdekaan Al-Maghfurlahu sangat aktif pada gerakan-gerakan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Misalnya sebelum aksi polisi Belanda sampai di Jepara. Disamping itu, beliau sebagai figure pemimpin oleh Alm. Amin Fattah, serta beliau menggelar pengasmaan bambu runcing di halaman masjid Darussalam Saripan Jepara. Disamping itu, beliau menjadi asisten bupati yang waktu itu dipimpin Bupati Militer Mayor Ishak.

Oleh karena itu beliau menjadi incaran tentara kolonial Belanda dimana saja dan selalu dikejar-kejar. Sehingga akhirnya ditangkap di Bangsri dan dimasukkan ke dalam sel tahanan Belanda di Jepara. Baru setelah terjadi penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda kepada Republik Indonesia tahun 1949, beliau dibebaskan dari tahanan. Setelah bebas, beliau kembali ke masyarakat dalam rangka ikut mengisi kemerdekaan. Beliau langsung diangkat oleh pemerintahan RI dan diamanati membangun serta memimpin Kepala Kantor urusan Agama Kabupaten Jepara yang pertama setelah revolusi dan pernah menjadi anggotra DPRD.

Sekalipun menjadi elit birokrat, beliau tidak pernah melupakan jati dirinya yang berdarah santri. Hal itu terbukti ketika beliau mengadakan kun jungan di kantor-kantor KUA (Kantor Urusan Agama) kecamatan pasti dibarengi menghadiri pengajian masyarakat (yang sekarang menjadi pengajian idaroh syuriah) yang diprogramkan oleh beliau melalui kepala-kepala KUA di wilayah kecamatannya. Oleh karena itu beliau memberikan persyaratan kepada setiap kepala KAU harus dapat membaca kitab kuning.

Hasil dari kegiatan pengajian rutin tersebut, pada tahun 1955 dibawah kepemimpinan Al-Maghfurlahu KH. Ahmad Fauzan dan KH. Abdur Rosyid beserta dukungan penuh solid para kyai-kyai partai NU (Nahdlotul Ulama’) Jepara mengukir kemenangan mutlak dalam pemilu RI tahun 1955. Dengan cara dan sikap integritas serta akomodatif yang dimilikinya, beliau berhasil menjalin komunikasi dengan semua pihak baik kawan maupun lawan.

Wafatnya KH. Ahmad Fauzan
Detik-detik kepergiannya ke rahmatullah, beliau masih dalam keadaan muthala’ah kitab tafsir yang kebetulan sedang disowani Alm. Abdul Hamid, seorang kepercayaan beliau sebagai bendahara/bagian keuangan ketika beliau menjabat sebagai Kandepag Jepara.

Akhirnya tepat hari Selasa, 6 Robi’us Tsani 1933 H atau bertepatan dengan 17 Mei 1972 M, pukul 11.00 WIB beliau kembali ke rahmatullah. Menjelang pemakaman, ada musyawarah yang cukup melibatkan banyak orang, ada beberapa pendangan tentang tempat pemakaman. Ada yang berpendapat sebaiknya dimakamkan di Jepara karena beliau kyainya orang Jepara, ada pula yang menginnginkan di Bangsri karena istri beliau yang terakhir di Bangsri. Sebagai jalan tengah, KH. Amin Sholeh, Allahu yarhamuh, memberikan fatwa agar keputusan pemakaman ini dekembalikan/diserahkan kepada istri beliau yang masih hidup, yaitu Ibu Hj. Mu’minah. Beliau (Ibu Hj. Mu’minah) menyarankan agar dimakamkan di Bangsri. Akhirnya semua keluarga, para tokoh dan masyarakat kaum muslimin sepakat menerima keputusan tersebut.

Akhirnya beliau dimakamkan di pemakaman Suromoyo Kedungleper Ampean Bangsri Kabupaten Jepara. Hadir ketika pemakaman, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdullah Hadziq Balekambang Mayong Jepara, KH. Abdullah Salam Kajen Pati dan ulama’-ulama’ se-Karesidenan Pati.

Sumber: http://kholishotulfauziyah.blogspot.co.id/
Dipublikasikan: Rabu, 19 Februari 2014
Read more

Jumat, 25 Maret 2016

Abah Amin Sholeh di Mata Gus Mus


Gus Mus merupakan pemimpin pondok pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang. Dulu, beliau pernah menuturkan mengenai salah satu tokoh terkemuka terutama di Jepara, KH. Mc. Amin Sholeh. Ketika masih nyantri di Lasem, Kiai Amin Sholeh tidak mondok di pesantren milik Kiai Baidlowi, tapi kiai sepuh karismatik itu menyuruhnya mengajar di pesantrennya. Begitu kisah Kiai Maemoen Zubeir yang ketika itu sama-sama nyantri di Lasem saat memberi mau'idhah hasanah pada upacara pelepasan jenazah Rais NU Wilayah dan Ketua MUI Jawa Tengah itu di hadapan ribuan pelayat.

Mbah Baidlowi Lasem, bersama Mbah Maksum, adalah tokoh kiai sepuh yang sangat disegani, karena ilmu dan amaliahnya. Bahwa kiai yang sangat dihormati para kiai lain -tidak hanya di Jawa Tengah saja- itu meminta Kiai Amin (yang notabene waktu itu masih berstatus nyantri) untuk mengajar di pesantrennya, sudah bisa menunjukkan kapasitas keilmuan tokoh sederhana dari Bangsri itu.

Di banyak konferensi dan muktamar, dia selalu aktif mengikuti acara-acaranya. Biasanya dia selalu hadir dan berperan di arena Bahtsul Masail, majelis yang membahas pertanyaan-pertanyaan masyarakat. Di arena seperti itu, Kiai Amin kelihatan mencolok, karena vokal-nya dalam menyampaikan pendapat dan argumentasi.

Dia akan mempertahankan pendapatnya sesuai dengan hujjah yang dimilikinya. Namun dia tidak ngotot. Apabila ada kiai lain yang hujjah-nya dianggap lebih kuat, dengan kesatria kiai Amin akan mengakui dan mengikutinya. Boleh jadi karena kealiman dan ketelitiannya, dalam majelis-majelis seperti itu, kiai Amin hampir selalu ditunjuk sebagai salah satu tim perumus.

Kiai Amin adalah salah seorang putra Kiai Saleh yang sangat terkenal di kalangan ulama, terutama di Jawa Tengah. Namun tidak seperti kebanyakan putra kiai terkenal yang lain, Kiai Amin tidak pernah diceritakan mempunyai sikap yang neka-neka. Dia memang contoh kiai sederhana yang "lurus-lurus" saja. Attawassuth wal i'tidaal, sikap sederhana dan jejeg seperti digariskan Khittah Nahdlatul Ulama, dijalaninya secara murni dan konsekuen.

Kiai Amin yang pernah menjabat sebagai Kepala Pengadilan Agama dan hingga meninggal menjabat sebagai orang pertama di NU Wilayah dan di Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah, juga seorang tokoh yang tawaduk. Beliau sudi dengan sabar mendengarkan pendapat orang lain, meski datangnya dari orang-orang yang lebih muda.

Ketika penulis dan yang lain mendorong-dorongnya untuk memimpin NU Wilayah Jawa Tengah, dengan rendah hati dia mengatakan, "Kalau ada orang yang lain, sebaiknya jangan sayalah!"

Dan ketika ternyata semua orang tetap mendorongnya, lagi-lagi dengan rendah hati dia mengatakan, "Tapi nanti dibantu ya!" Beliau pun kemudian benar dipilih secara aklamasi dan pada berikutnya tetap dipercayai memimpin organisasi besar itu.

Tidak seperti kebanyakan pemimpin yang lain, Kiai Amin tidak hanya duduk-duduk saja di meja pimpinan sambil memberikan instruksi-instruksi. Tapi dia langsung terjun ke bawah, mendatangi umatnya dengan kesetiaan yang luar biasa. Kepada umatnya, dia berusaha sekuat tenaga untuk memberikan pendidikan akhlak dan menjawab tanda-tanda tanya yang akhir-akhir ini banyak meresahkan mereka.

Dan semua itu dia lakukan dengan kasih sayang yang membawa kesejukan dan ketenteraman. Salah satu ungkapannya yang masih diingat santri-santrinya adalah ucapannya yang dinyatakan dengan nada kelakar, "Lebih baik bodoh ketimbang pandai tapi tidak bermoral."

Tidak jarang tokoh kita ini dalam melakukan khidmah kemasyarakatannya mengabaikan kondisi tubuhnya. Beberapa kali dia jatuh sakit karena kelelahan. Namun itu semua tidak menghalanginya untuk terus memberi manfaat kepada sesama.

Pendek kata bila kita ingin melihat sosok kiai pendahulu dari kalangan NU, kita bisa melihat melalui Kiai Amin Sholeh ini. Baik dalam segi kecintaannya kepada ilmu, dari akhlak dan perilakunya, kasih sayangnya kepada umat, maupun keistiqamahannya dalam berkhidmah.

Kini sosok kiai yang langka itu sudah pergi untuk selama-lamanya. Dia dipanggil Allah SWT dalam bulan rahmat penuh ampunan ini. Ketika kita justru sangat memerlukan pemimpin yang ikhlas dan berbudi seperti dia. NU merasa sangat kehilangan. MUI kehilangan. Kita semua kehilangan salah satu teladan pemimpin umat yang masih tersisa.
Read more

Biografi KH. Musthofa Bisri dan Karya-karyanya

KH. Bisri Musthofa merupakan satu diantara sedikit ulama Indonesia yang memiliki karya besar. Beliaulah pengarang kitab tafsir al – Ibriz li Ma’rifah Tafsir Al Qur’an al –‘Aziz. Kitab tafsir bimakna pesantren ini selesai beliau tulis pada tahun 1960. Karya-karya beliau tak sebatas pada bidang tafsir, di bidang lain pun seperti tauhid, fiqh, tasawuf, hadist, tata bahasa Arab, sastra tak kalah banyaknya.

Selain itu, KH. Bisri Mustofa juga dikenal sebagai orator atau ahli pidato. Beliau, menurut KH. Saifuddin Zuhri, mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit sehingga menjadi begitu gambling, mudah diterima semua kalangan baik orang kota maupun desa. Hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasikkan, sesuatu yang kelihatannya sepele menjadi amat penting, berbagai kritiknya sangat tajam, meluncur begitu saja dengan lancer dan menyegarkan, serta pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyenangkan (KH. Saifuddin Zuhri : 1983, 27)

Masa Kecil Gus Mus

KH. Bisri Musthofa dilahirkan di desa Pesawahan, Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915 dengan nama asli Masyhadi. Nama Bisri ia pilih sendiri sepulang dari menunaikan haji di kota suci Makkah. Beliau adalah putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan isteri keduanya bernama Hj. Khatijah.

Di usinya yang kedua puluh, KH. Bisri Musthofa dinikahkan oleh gurunya yakni Kiai Cholil dari Kasingan (tetangga Pesawahan) dengan seorang gadis bernama Ma’rufah yang tidak lain adalah putri Kiai Cholil sendiri.

Dari pernikahannya ini, KH. Bisri Musthofa dikaruniai delapan orang anak, yakni Cholil, Musthofa, Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah dan Atikah. Dua orang putra yakni Cholil (KH. Cholil Bisri) dan Musthofa (KH. Musthofa Bisri) mungkin yang paling familiar dikenal masyarakat sebagai penerus kepemimpinan Pondok Pesantren.
KH. Bisri Musthofa wafat pada tanggal 16 Februari 1977.

Pendidikan Gus Mus
KH. Bisri Musthofa lahir dalam lingkungan pesantren, karena memang ayahnya seorang Kiai. Sejak umur tujuh tahun, beliau belajar di sekolah “ Angka Loro” di Rembang. Di sekolah ini, beliau hanya bertahan satu tahun, karena ketika hampir naik kelas dua beliau diajak orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Rupanya, ditempat inilah Allah memberikan cobaannya, dalam perjalanan pulan di pelabuhan Jedah, ayahnya yang tercinta wafat setealah sebelumnya menderita sakit di sepanjang pelaksanaan haji ( KH.Saifuddin Zuhir : 1983, 24)

Sepulang dari Makkah, KH. Bisri Musthofa sekolah di Hollan Indische School (HIS) di Rembang. Tak lama kemudian, ia dipaksa keluar oleh Kiai Cholil dengan alasan sekolah tersebut milik Belanda. Akhirnya, Ia kembali ke sekolah “ Angka Loro”nya yang dulu. Ia belajar di Angka Loro hingga mendapatkan sertifikat dengan masa pendidikan empat tahun.

Pada usia 10 tahun, KH. Bisri Musthofa melanjtukan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Selanjutnya pada 1930, belajar di Pesantren Kasingan pimpinan Kiai Cholil.

Setahun setelah dinikahkan oleh Kiai Cholil dengan putrinya yang bernama Marfu’ah, KH. Bisri Musthofa berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan beberapa anggota keluarga dari Rembang. Namun seusai haji, KH. Bisri Musthofa tidak pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menunutut ilmu di sana.

Di Mekah, beliau belajar dari satu ke guru lain secara langsung dan privat. Tercatat beliau pernah belajar kepada Syeikh Baqil, asal Yogyakarta, Syeikh Umar Hamdan Al Maghriby, Syeikh Ali Malik, Sayid Amid, Syeikh Hasan Massath, Sayid Alwi dan KH. Abdullah Muhaimin. (KH. Bisri Musthofa: 1977, 18)

Dua tahun lebih KH. Bisri menuntut ilmu di Mekah. KH. Bisri Musthofa pulang ke Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya.

Setahun kemudian, mertunya yakni Kiai Cholil meninggal dunia. Sejak itulah KH. Bisri Musthofa menggantikan posisi guru dan mertunya itu sebagai pemimpin pesantren.

Disamping kegiatan mengajar di Pesantren, beliau juga aktif mengaisi ceramah-ceramah (pengajian) keagamaan. Penampilannya diatas mimbar amat mempesona para hadirin yang hadir, sehingga beliau sering diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan diluar daerah Rembang, seperti Kudus, demak, Lasem, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah lain di Jawa Tengah.

Karya-karya Gus Mus
KH. Bisri Musthofa banyak menulis buku (kitab). Hal ini, barangkali, dilatarbelakangi salah satunya oleh makin besarnya jumlah santri disisi lain, sementara saat itu sulit sekali ditemukan kitab-kitab atau buku-buku pelajaran untuk para santri. Berkat kemampuan, inisiatif dan kreatifitas yang dimilikinya, KH. Bisri Musthofa berhasil menyusun dan mengarang banyak buku. Tetapi, selain karya-karya KH. Bisri Musthofa yang ditujukan untuk kalangan santri sebagai bahan pelajaran di pesantren yang dipimpinnya, karya-karya beliau juga ditujukan untuk kalangan luas di pedesaan yang aktif mengaji di surau-surau atau di masjid-masjid di mana beliau sering memberikan ceramah. Karena itu bahasa yang digunakan KH. Bisri dalam karya-karyanya tersebut disesuaikan dengan bahasa yang digunakan para santri dan masyarakat pedesaan, yakni menggunakan bahasa daerah (jawa), dengan tulisan huruf arab pegon, disamping juga ada karya-karya menggunaakan bahasa Indonesia.

Jumlah karya tulis kurang lebih mencapi 54 buah judul, meliputi, tafsir, hadist, aqidah, fiqh, sejarah nabi, balaghah, nahwu, sharaf, kisah-kisah, syi’iran, do’a, tuntunan modin, naskah sandiwara, khutbah-khutbah, dan lain-lain. Karya-karya tersebut dicetak oleh beberapa perusahaan percetakan diantaranya percetakan Salim Nabhan Surabaya, Progressif Surabaya, Toha Putera Semarang, Raja Murah Pekalongan, Al Ma’arif Bandung dan yang terbanyak dicetak oleh percetakan Menara Kudus. Karya Beliau yang paling monumental adalah Tafsir Al – Ibriz (3 Jilid), disamping kitab Sulamul Afham (4 Jilid).

Karya-karya KH. Bisri Musthofa jika diklasifikasikan berdasarkan bidang keilmuan dibagai kedalam beberapa fan berikut.

- Bidang Tafsir
Selain tafsir Al Ibriz, KH. Bisri Musthofa juga menyusun kitab Tafsir Surat Yasin. Tafsir ini bersifat sangat singkat dapat digunakan para santri serta dai di pedesaan. Termasuk arya beliau dalam bidang tafsir ini adalah al-iksier yang berarti “ Pengantar Ilmu Tafsir” ditulis sengaja untuk para santri yang sedang mempelajari ilmu tafsir.

- Hadist
Beberapa kitab hadis yang beliau susun diantaranya :
Sullamul Afham, terdiri dari 4 jilid, berupa terjemah dan penjelasan. Didalamnya memuat hadist-hadist hukum syara’ secara lengkap dengan keterangan yang sederhana
Al Azwad al Musthofawiyah, berisi tafsiran Hadist Arba’in Nawawi untuk para santri pada tingkatan Tsanawiyah
Al – Mandhomatul Baiquny, berisi ilmu Musthalah al Hadist yang berbentuk nadham yang diberi nama

- Aqidah
Rawihatul Aqwam
Durarul Bayan

- Syari’ah
Sullamul Afham li Ma’rifati Al Adillatil Ahkam fi Bulughil Maram
Qawa’id Bahiyah, Tuntunan Shalat dan Manasik Haji
Islam dan Shalat

- Ahlak / Tasawuf
Washaya al-Abaa’ lil Abna
Syi’ir Ngudi Susilo
Mitra Sejati
Qashidah al-Ta’liqatul Mufidah (Syarah Qashidah al Munfarijah karya Syeikh Yusuf al Tauziri dari Tunisia)

- Ilmu Bahasa Arab
Jurumiyah
Nadham ‘Imrithi
Alfiah Ibn Malik
Nadham al Maqhsud
Syarah Jauhad Maknun

- Ilmu Mantiq / Logika
Tarjamah Sullamul Munawarraq, memuat dasar-dasar berpikir yang sekarang dikenal dengan ilmu Mantiq dan logika.

- Sejarah
An-Nibrasy
Tarikhul Anbiya
Tarikhul Awliya

- Bidang lain, diantaranya
Buku tuntunan para modin berjudul Imamuddin
Tiryaqul Aghyar terjemah Qashidah Burdaul Mukhtar
Kitab kumpulan do’a berjudul Al Haqibah

Karya-karya KH. Bisri Musthofa awalnya dipakai di Pesantren Kasingan Rembang untuk kalangan Pesantren sendiri. Tetapi, dalam perkembangann berikutnya , karya-karya KH. Bisri tersebut juga digunakan di berbagai pesantren di Jawa Tengah, seperti Pesantren Lasem, Rembang, Kudus, Demak, Semarang dan pesantren di wilayah Jawa Tengah, bahkan sampai ke beberapa kota di Jawa Timur.

Sumber: http://pustaka.islamnet.web.id/ yang dikutip dari Intelektualisme Pesantren Juz 3
Penerbit: Diva Pustaka Jakarta
Read more